PERAN PENDIDIKAN SEBAGAI MODAL UTAMA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
PERAN PENDIDIKAN SEBAGAI
MODAL UTAMA MEMBANGUN KARAKTER
BANGSA[1]
Oleh H. Suyatno[2]
Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung
oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis,
kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah
penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang
sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan
bermartabat. Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi
berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek
politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan, kelembagaan Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang
tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi,
masalahnya meliputi paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi
dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan
yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan
aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan
ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan
integrasi sosial, dan melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009:
10-22).
Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki
bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting
karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor
manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya juga
dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah
tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi
Indonesia yang lebih maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM
yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter
SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses
pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi
manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak
mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas
tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak
hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana
bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan,
pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas yang
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM
yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk
mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk
menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga
saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang
diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang
menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama
siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi
lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke
siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan
kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi
ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia
yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat
digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena
kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak menjadi manusia yang tidak
bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang mempertontonkan
berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan
penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh
anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa
gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang
kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik
sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan
lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.
Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk
kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti
sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki
peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model
lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal
adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara
pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan
di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan
pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang
lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan
kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan
masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta
didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika
keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar,
memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan.
Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan
prilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000: 194).
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka
membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga
komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah
pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak
pada fase negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang kemauan
untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan
sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan
jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappiare
dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala
negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan
dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak
dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.
Ciri Karakter SDM
SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa
yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus
berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang
berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran,
keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan
sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep tentang
manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian
bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu memiliki
sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan,
saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup
yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara
individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan
kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan
kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4)
mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi,
hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta
kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan
universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44).
Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan
bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital
dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia
yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin,
2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana
generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek
afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan
untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak
menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya
Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya
generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral,
(2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi
peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter
menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran
moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya
nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian,
kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan
khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk
dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai.
Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai
setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan
karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan
karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat,
dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa
pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi
persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya
perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki
tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui
lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan
karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli,
dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan
kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja
bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan
yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan
peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban
tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan.
Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk
karakter peserta didik atau anak.
Implementasi Pendidikan
Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah
melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke
dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik
(Elkind dan Sweet, 2005).
1. Segala
sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru,
dan masyarakat
2. Sekolah
merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas
yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3. Pembelajaran
emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
4. Kerjasama
dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan
persaingan
5. Nilai-nilai
seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran
sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6. Siswa-siswa
diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui
kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7. Disiplin
dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan
hadiah dan hukuman
8. Model
pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas
demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan
memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga
pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup
(1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan
mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan
pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke
dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan
masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk
keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan
kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model
prilaku sosial dan moral (US Department
of Education).
Mengacu pada konsep
pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga
pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus
dilakukan secara berkelanjutan (continually)
sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya
sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan
keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa
anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa
anak.
Bagaimana
Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu bisa guru,
orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk
pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai
masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta
Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di
antaranya:
1. Pendidik
perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif
sebagai upaya membangun pendidikan karakter
- Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3. Pendidik
perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan
berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4. Pendidik
perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin
untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
- Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain
yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan
Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang
melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara
eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and
acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa
masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum
yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa
pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui
pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya
mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan
penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis
lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan
non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu
melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2)
harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap,
(3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan
metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat
perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan
hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus
mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa
menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan
belajar soft skills yang berguna bagi
kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada
siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam
pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau
orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi
anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan
menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana
yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak
anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan
beribadah secara rutin.
Berangkat dengan
upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan
tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di
antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan
kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan
lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar
stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan
Supriadi, 2001: 49-50).
Penutup
Sebagai penutup,
saya simpulkan bahwa pembentukan karakter SDM yang kuat sangat diperlukan untuk
menghadapi tantangan global yang lebih berat. Karakter SDM dalam dibentuk
melalui proses pendidikan formal, non formal, dan informal yang ketiganya harus
bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter
menjadi sangat vital sehingga anak didik atau SDM Indonesia menjadi manusia
yang religius, moderat, cerdas, dan mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan
pendidikan nasional serta watak bangsa Indonesia.
Daftar
Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. Membangun Sumber Daya Manusia dengan
Kesinergisan antara Kecerdasan Spiritual, Emosional, dan Intelektual.
Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang
Pendidikan Karakter, UNY 2007.
Azra, Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter
Bangsa. 2006
Djalil, Sofyan A. dan Megawangi,
Ratna. Peningkatan Mutu Pendidikan di
Aceh melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter.
Makalah Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September 2006.
Elkind, David H. dan Sweet,
Freddy. How to Do Character
Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2001.
Lickona, Thomas, Educating
for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New
York: Bantam Books, 1992.
Lickona, Tom; Schaps, Eric,
dan Lewis, Catherine. Eleven Principles
of Effective Character Education. Character Education Partnership, 2007.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009.
Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta:
Yudhistira, 2001
Suyanto
dan Hisyam, Djihad. Pendidikan di
Indonesia Memasuki Milenium III: Refleksi dan Reformasi. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2000.
Suyatno;
Sumedi, Pudjo, dan Riadi, Sugeng (Editor). Pengembangan
Profesionalisme Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar. Jakarta: UHAMKA Press,
2009.
U. S. Department of Education. Office of Safe and Drug-Free Schools.
400 Maryland Avenue, S.W. Washington, DC.